“Memangnya kenapa kalau pakai sepatu kw (palsu)? Toh, kalau dipakai juga sama saja rasanya.”
“Masih belum ada uang untuk beli yang orisinal, sementara beli yang palsu dulu.”
“Orang-orang enggak bakal tahu kalau ini sepatu kw. Santai saja.”
“Mau dipakai berolahraga, sayang kalau memakai yang orisinal. Nanti rusak.”
Serta masih banyak pembelaan lain yang dilontarkan bagi mereka yang sengaja membeli dan menggunakan sepatu tiruan. Fenomena yang kian hari kian marak terutama setelah merek-merek yang dianggap keren itu mematok harga selangit untuk produknya. Di Indonesia, keberadaan sepatu-sepatu KW di antara produk-produk orisinal seakan dimaklumi. Walaupun sebenarnya ada norma yang secara tak sengaja atau mungkin sengaja mereka langgar.
Sebelum membahasnya lebih jauh, ada baiknya kita satukan pandangan mengenai pengertian sepatu tiruan. Secara garis besar, sepatu tiruan adalah sepatu yang diproduksi perusahaan tertentu namun mengatasnamakan merek perusahaan lain. Tentu saja, penyantuman merek tersebut tidak diketahui pemilik merek yang sebenarnya. Kegiatan semacam ini dinamakan plagiarisme.
Ada banyak sekali istilah yang kerap digunakan selain kata tiruan itu sendiri. Namun, sebutan yang paling sering digunakan adalah “kw”. Selain itu, masih ada istilah “kw super”, “palsu”, “premium”, “mirror product”, “replika”, “1:1”, dan lain sebagainya. Beruntungnya, tak ada istilah lain yang digunakan untuk menyebutkan produk orisinal.
Kegiatan semacam ini memang sering terjadi pada produk-produk terkenal dari luar negeri. Sayangnya, plagiarisme tak memandang bulu. Memalsukan produk juga terjadi pada produk dalam negeri walau persentasenya jauh tak sebanyak produk luar negeri.
Alexander Leman Pratama (kiri) berfoto dengan salah satu koleksinya, WTAPS x Vans Syndicate Era “Bones”.
Fenomena ini tentunya telah menjadi perhatian bagi banyak kalangan. Sebut saja Alexander Leman Pratama. Kolektor Vans sekaligus ketua komunitas Vanshead Malang ini mengaku sering menemui masyarakat menggunakan sepatu tiruan. “Padahal kualitasnya (sepatu tiruan) itu beda jauh. Bila sama-sama dipakai harian, maka sepatu orisinal jauh lebih awet,” ungkapnya.
Pria yang akrab disapa Alex ini sempat mengutarakan testimoninya tentang sepatu Vans tiruan. “Hahaha, dulu pernah pakai sekali. Tapi kurang nyaman. Setelah itu, saya coba mencari informasi lebih dalam tentang Vans. Hingga akhirnya saya jatuh cinta sama produk buatan Paul Van Doren ini.”
Tak hanya itu, ia juga punya pendapat mengapa ia merekomendasikan untuk menggunakan Vans oridinal. “Malu lah sama diri sendiri. Lagian, banyak kok merek-merek lokal yang punya sepatu berkualitas apik bila memang belum punya cukup uang untuk membeli Vans orisinal. Walau sepatu masih dipandang sepele, itu adalah cara saya untuk menghargai produk dan karya orang lain,” imbuh pria berusia 24 tahun ini.
Tito Prakasa memamerkan salah satu koleksinya, Converse One Star x Footpatrol “Jewels of Soho” di akun instagram pribadinya.
Sementara hal berbeda coba diungkap Tito Prakasa. Ketua komunitas Conversehead Indonesia justru menganggap persebaran sepatu tiruan ini hal yang maklum. “Menurut saya hal ini wajar, sih. Karena faktor ketersediaan dan permintaan (supply and demand). Banyak yang ingin membeli Converse namun tak semua punya kapasitas untuk membelinya,” katanya.
Tito juga menambahkan fenomena lain. “Saya paling tidak suka bila ada penjual yang memberi keterangan jualannya itu orisinal padahal sebenarnya tiruan,” tegasnya. Ada tips yang coba ia sampaikan untuk membedakan Converse orisinal dan tiruan. “(Sepatu tiruan) bentuknya jelek. Selain itu, akan ketahuan dari bau lemnya. Lem yang digunakan untuk Converse tiruan baunya menyengat,” kata pria yang juga seorang penjual Converse seri terbatas ini.
Musisi sekaligus pemerhati skema sneaker, Anugrah Aditya, memberikan pandangan lain tentang hal ini. “Justru ini yang membuat skema ini seru. Memiliki sneaker atau sepatu orisinal dengan jumlah terbatas itu sulit,” katanya. Pria pemilik akun media sosial Twitter dan Instagram @adityalogy ini juga menyatakan tidak setuju dengan persebaran sepatu tiruan. “Saya jelas tidak menyetujui. Ada baiknya kita menghargai hak cipta walau itu dari perusahaan besar sekelas Nike, adidas, atau apalah.”
Lalu, mengapa sepatu atau sneaker tiruan masih kerap ditemui di Indonesia?
Harga di Bawah Sepatu Original
Soal harga, tak perlu ditanyakan lagi. Sepatu tiruan memang punya harga yang kadang jauh dibawah harga sepatu orisinal. Mengapa? Karena sepatu tiruan tidak melalui berbagai macam proses yang dilakukan oleh perusahaan yang orisinal. Sebut saja riset performa, pemilihan materi, harga desainer yang cukup mahal, kontrol kualitas, biaya distribusi barang ke seluruh dunia, pemenuhan pajak di Indonesia hingga gaji karyawan yang terlatih. Semua hal tersebut menyebabkan harga sepatu orisinal naik.
Sementara pengusaha sepatu tiruan, mereka tak melalui komponen tersebut. Kebanyakan mereka memproduksi sepatu bermodalkan mesin yang seadanya. Kontrol kualitas pun tidak seketat perusahaan penyedia sepatu orisinal.
Peraturan yang Longgar
Sejatinya, produk-produk tiruan seperti ini sudah pasti melanggar hak cipta. Mereka memproduksi produk tanpa seizin pemegang hak cipta. Di samping itu, tidak ada pemenuhan hak (royalty) yang dibayarkan kepada desainer sepatu. Bila hal ini diteruskan, maka secara tidak langsung menggunakan sepatu tiruan berarti tidak menghargai kreativitas penciptanya.
Sejauh ini, pemerintah belum terlihat serius dalam menangani beredarnya produk-produk tiruan. Walau telah tercatat dalam UU nomor 28 tahun 2014, penegakannya belum menyeluruh.
Pola Hidup Konsumtif
Sadar atau tidak, Indonesia adalah pasar efektif untuk memasarkan berbagai macam produk. Termasuk di dalamnya adalah sepatu. Buktinya, merek-merek besar dunia tercatat membuka cabang mereka di Indonesia. Tak hanya itu, gengsi ingin dipandang juga jadi motif di balik keputusan membeli produk tiruan.
Produk orisinal memang harganya selangit, namun lebih dipandang. Kesan itu seakan membuat konsumen produk tiruan menjadi tak acuh. Mereka tetap membelinya meski tahu itu kw. Sebagian yang tak memiliki cukup uang terpaksa membeli produk tiruan dengan harapan agar bisa dipandang seperti pemilik produk orisinal.
Kurangnya Kesadaran
Walau telah menyadari bahwa ia telah membeli produk tiruan, konsumen produk kw tetap tak acuh. Buktinya, kita masih bisa menemui beberapa konsumen produk kw bergaya layaknya seorang sosialita dengan produk tiruan itu. Asal bisa mendapat perhatian dari khalayak ramai, ia tetap membeli produk tiruan.
Hal ini yang perlu diperhatikan lebih jauh. Kesadaran membeli produk orisinal tak hanya sebagai bentuk apresiasi produk, tetapi juga sebagai bentuk investasi jangka panjang. Merek internasional itu akan terus menanamkan saham mereka di Indonesia bila penjualan produk mereka baik.
Kurang Mencintai Produk dalam Negeri
Harga produk luar negeri yang selangit membuat banyak kalangan berpikir dua kali untuk memilikinya. Alih-alih menabung hingga dana tercukupi, sebagian konsumen justru membeli produk tiruan dengan dana seadanya. Hal itu tentu sungguh disayangkan. Bila kita melihat kembali sepatu-sepatu buatan dalam negeri, maka kita akan menyadari bahwa harga sepatu buatan anak negeri rata-rata lebih terjangkau.
Pemerintah mencoba melindungi produk dalam negeri dengan menaikkan pajak impor. Bila harga produk impor tinggi, diharapkan masyarakat beralih ke produk dalam negeri dengan harga yang lebih ramah dompet. Rencana pemerintah itu tak akan berjalan bila kita tak membuka mata pada sepatu dalam negeri.
Pengetahuan Seadanya Namun Tutup Mata Pada Informasi
Kehadiran komunitas sepatu di Indonesia tak hanya untuk kumpul-kumpul saja, tetapi juga untuk bertukar informasi. Mereka telah membentuk grup di berbagai platform media sosial agar mampu dicapai oleh banyak kalangan. Sebut saja Kaskus, Facebook, hingga Instagram. Di sana pula, kita bisa mendapati penjual produk tiruan sekaligus penjual produk orisinalnya.
Kehadiran internet sejatinya telah banyak menyediakan informasi komprehensif tentang produk-produk orisinal. Walau begitu, tak banyak orang yang mau membacanya serta menerapkannya.
Pengawasan Longgar
Walau sudah pasti melanggar hak cipta, pengawasan akan peredaran produk-produk tiruan seakan dianggap sebagai rahasia umum. Sayangnya, pemerintah belum menunjukkan sinyal meningkatkan pengawasan apalagi tindakan. Mengutip dari situs resmi Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, negara telah merugi Rp65,1 triliun di tahun 2015 dari peredaran produk tiruan ilegal, termasuk di antaranya sepatu tiruan.
Fakta ini tentu mengejutkan mengingat harga produk tiruan bahkan tak menyentuh angka Rp100 ribu per buah. Kerugian ini sebenarnya bisa diminimalisasi bila kesadaran penduduk untuk membeli produk orisinal, baik dari luar maupun dalam negeri, tetap tinggi.
Menghapus sepenuhnya produk tiruan di Indonesia memang sulit. Namun, hal itu bisa diminimalisasi. Mengurangi penggunaan produk tiruan luar negeri lalu beralih ke produk orisinal dalam negeri adalah solusi pertama. Selain itu, mengubah pola pikir produk luar negeri lebih keren dari produk dalam negeri” harus dilakukan segera.
Semakin banyak pengguna produk tiruan, semakin besar kerugian negara yang dihasilkan. Tentunya, Anda tak akan terlihat keren bila ketahuan menggunakan produk tiruan saat bersosialisasi.
Yuk, budayakan menggunakan produk orisinal!